buletinjubi.com-Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Kolonel Infanteri Candra Kurniawan tak menampik bila penyerangan yang dilakukan kelompok separatis dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Papua berpengaruh terhadap aparat keamanan. Dia berujar pengaruh itu tak berkaitan dengan psikologis aparat keamanan yang bertugas di wilayah tersebut.
Adapun penyerangan OPM di RSUD Wamena itu menyebabkan seorang anggota kepolisian tewas. Penyerangan kelompok separatis itu terjadi pada 28 Mei lalu.
Akibat serangan di fasilitas publik itu, Candra mengatakan TNI harus meningkatkan kewaspadaan lebih terhadap pergerakan kelompok OPM. “Kalau pengaruh tentu ada, yaitu untuk meningkatkan kewaspadaan,” katanya saat dihubungi pada Rabu, 4 Juni 2025.
Selain meningkatkan kewaspadaan, dia berujar TNI dalam hal ini Kodim 1702/Jayawijaya intens melakukan komunikasi dengan pelbagai tokoh masyarakat dan unsur forkopimda lainnya. Termasuk, ujar dia, melakukan komunikasi dan edukasi kepada publik untuk mencegah penyebaran propaganda OPM.
Menurut dia, propaganda yang disebarkan oleh OPM itu sengaja dilakukan. Tujuannya, dia menilai, untuk membangun opini masyarakat seolah situasi di Wamena pasca penyerangan itu mencekam.
“Padahal sejatinya situasi kondusif. Secara umum situasi sudah normal kembali,” ucap Candra.
Insiden penembakan aparat keamanan oleh OPM ini terjadi di depan RSUD Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua pada Rabu malam, 28 Mei 2025. Korban tewas kini telah dievakuasi ke Jayapura. Diketahui, anggota kepolisian yang menjadi korban ini ditembak di bagian dada kiri sebanyak tiga kali oleh OPM.
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM, Sebby Sambom mengklaim, penyerangan kelompoknya itu dilakukan untuk membela diri. Menurut dia, serangan ke aparat keamanan itu untuk mengusir adanya kehadiran militer di Wamena.
Terlebih lagi, menurut dia, serangan aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua tergolong lebih kejam. Dia menyinggung kejadian masuknya tentara negara ke gereja-gereja di Papua.
Padahal, kata dia, rumah ibadah itu kerap dipakai sebagai tempat berlindung warga sipil saat terjadi kontak tembak antara TNI dan kelompok bersenjata. “Kami membela diri, maka akan menempuh dengan cara apa saja. Salah satunya tembak polisi di depan rumah sakit,” kata Sebby saat dihubungi pada Ahad, 1 Juni 2025.
Di sisi lain, Sebby tak menampik bila tindakan kelompoknya yang menyerang aparat keamanan di depan RSUD Wamena melanggar hukum humaniter internasional. Dia berujar, dalam panduan hukum perang rumah sakit dilarang dijadikan sasaran dalam penyerangan.
“Rumah sakit tidak boleh dijadikan sasaran dalam perang,” katanya.
Sebby mengakui bahwa belum semua milisi TPNPB OPM memahami panduan perang atau hukum humaniter internasional. Salah satu penyebabnya karena keterbatasan akses pengetahuan, sehingga menghambat milisi yang tersebar di wilayah Papua.
Sebby berujar, pada 2012 silam di Konferensi Tingkat Tinggi TPNPB OPM di Biak, pihaknya sempat mencetak sebanyak 1.000 buku panduan hukum humaniter internasional untuk dibagikan ke kombatan. “Tapi Papua itu besar. Stoknya kini habis, jadi belum dibagikan seluruhnya buku itu,” ucap dia.