buletinjubi.com-Sejumlah proyek pembangunan infrastruktur strategis di wilayah Papua kembali mengalami keterlambatan. Hal ini disebabkan oleh gangguan keamanan yang terus berlangsung, terutama ulah kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kerap mengancam pekerja, menyabotase alat berat, hingga memaksa kontraktor menghentikan kegiatan operasional.
Gangguan tersebut berdampak serius pada proyek-proyek vital seperti pembangunan jalan trans Papua, jembatan penghubung antardistrik, serta pembangunan sarana air bersih dan listrik di beberapa wilayah pegunungan. Akibatnya, akses transportasi, logistik, dan layanan publik di berbagai kampung kembali terisolasi.
Tokoh masyarakat Papua, Piter Wanimbo, menyayangkan aksi kekerasan OPM yang tidak hanya merugikan negara, namun juga menyengsarakan masyarakat Papua sendiri. “Infrastruktur bukan hanya proyek pemerintah, tapi kebutuhan rakyat. Kalau jalan tidak selesai, bagaimana mama-mama bawa hasil kebun ke kota? Bagaimana anak-anak sekolah kalau jembatan rusak tidak bisa diperbaiki?” ucapnya tegas, Rabu (18/6/2025).
Menurut Piter, masyarakat sebenarnya menyambut baik proyek pembangunan yang telah masuk ke wilayah-wilayah terpencil. Namun karena situasi keamanan yang tidak kondusif, banyak perusahaan dan tenaga kerja memilih mundur demi keselamatan.
Sementara itu, tokoh adat dari wilayah Pegunungan Tengah, Yonas Tabuni, mengatakan bahwa tindakan OPM yang menyerang proyek pembangunan adalah bentuk sabotase terhadap masa depan Papua. “Anak cucu kita butuh jembatan, butuh jalan, butuh listrik. Tapi kalau setiap alat berat dibakar, setiap pekerja diancam, itu sama saja menutup harapan rakyat Papua akan kemajuan,” ujarnya.
Yonas juga menambahkan bahwa sejumlah proyek air bersih dan perumahan layak huni yang dirancang untuk masyarakat asli Papua kini terbengkalai. “Beberapa kampung sudah siap menerima air bersih dari proyek pemerintah, tapi sekarang alat-alat ditarik keluar karena OPM terus meneror,” ungkapnya.
Kondisi ini diperparah dengan adanya aksi pemalakan dan permintaan “jatah keamanan” yang kerap dilakukan oleh kelompok bersenjata terhadap kontraktor yang bekerja di wilayah konflik. Hal ini membuat biaya operasional melonjak dan tenggat penyelesaian proyek menjadi tidak menentu.
Di sisi lain, tokoh perempuan Papua, Maria Kobak, menyuarakan kekhawatiran atas dampak tertundanya pembangunan terhadap kualitas hidup perempuan dan anak. “Kami sudah lama hidup dalam keterbatasan. Kalau pembangunan air bersih dan klinik tertunda, kami yang paling terdampak. Perempuan harus jalan berjam-jam hanya untuk ambil air atau bawa anak berobat,” katanya.
Masyarakat Papua berharap agar keamanan segera dipulihkan dan kelompok-kelompok bersenjata menghentikan aksi penghambatan pembangunan. Proyek-proyek infrastruktur di tanah Papua bukan hanya simbol kemajuan, tetapi kebutuhan nyata masyarakat yang selama ini hidup dalam keterisolasian.