Sudah Sejak Lama Masyarakat Papua Dihantui Rasa Takut dengan Keberadaan OPM

Daerah, Hukrim9 views

buletinnjubi.com-Ketakutan dan keresahan yang dirasakan oleh masyarakat Papua terhadap keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukanlah hal baru. Selama puluhan tahun, kelompok bersenjata ini telah menciptakan suasana mencekam di sejumlah wilayah Papua, menyebabkan warga hidup dalam bayang-bayang ancaman kekerasan, pemerasan, dan intimidasi.

Di berbagai daerah pedalaman seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, dan Yahukimo, warga tidak lagi merasa aman untuk beraktivitas. Banyak dari mereka yang terpaksa meninggalkan kampung halaman, mengungsi ke tempat yang lebih aman, bahkan hidup berpindah-pindah untuk menghindari kekerasan bersenjata. Rumah dibakar, fasilitas umum dihancurkan, tenaga kesehatan dan guru diintimidasi atau bahkan dibunuh—semua ini adalah rekam jejak yang tak terbantahkan dari aksi-aksi brutal OPM.

Di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, seorang kepala kampung yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa masyarakat setempat tidak memiliki pilihan lain selain tunduk pada tekanan kelompok separatis tersebut. “Kami sering dimintai uang, bahan makanan, bahkan anak-anak muda diajak untuk bergabung dalam kelompok mereka. Kalau menolak, nyawa bisa menjadi taruhannya,” ungkapnya, Jumat (23/5/2025).

OPM selama ini tidak hanya menyasar aparat keamanan, namun juga warga sipil yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi mereka. Bahkan, masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah atau menerima bantuan dari negara sering dicap sebagai pengkhianat dan menjadi target kekerasan.

Salah satu pola yang paling mencolok adalah penggunaan masyarakat sipil sebagai tameng dalam aksi-aksi bersenjata. Dalam sejumlah kejadian, OPM dengan sengaja melibatkan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menghalangi operasi penegakan hukum oleh aparat keamanan.

Yohana, seorang guru honorer di wilayah Pegunungan Bintang, mengaku sering kali harus menghentikan proses belajar-mengajar karena gangguan dari kelompok OPM. “Pernah suatu ketika, kami mendengar suara tembakan dari bukit. Anak-anak langsung berhamburan, bersembunyi di bawah meja. Saya hanya bisa menangis karena tidak tahu apa yang harus dilakukan,” ucapnya haru.

Bupati Intan Jaya, dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa pembangunan daerah sangat terhambat karena ketidakstabilan keamanan yang disebabkan oleh gangguan dari OPM. “Pemerintah ingin membangun jalan, sekolah, dan rumah sakit, tapi selalu terkendala aksi sabotase dari kelompok bersenjata. Ini sangat merugikan masyarakat,” ujarnya.

Ketua Lembaga Adat Papua, Silas Enumbi, dalam sebuah forum damai di Wamena, menegaskan bahwa masyarakat Papua ingin hidup dalam suasana yang tenang, tidak terus-menerus dijadikan korban oleh pihak manapun. “Kami menolak segala bentuk kekerasan, baik dari kelompok separatis maupun dari siapa pun. Rakyat ingin hidup damai, bekerja, berkebun, menyekolahkan anak, dan beribadah dengan tenang,” tegasnya.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Papua sejatinya menginginkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Keberadaan OPM yang selama ini membawa teror dan kekerasan hanya memperkeruh suasana dan menjauhkan rakyat dari cita-cita hidup yang layak.

Kini, semakin banyak tokoh masyarakat dan generasi muda Papua yang berani bersuara, menolak kekerasan, dan mendukung upaya damai serta pembangunan berkelanjutan. Mereka menyadari bahwa kemajuan Papua hanya bisa dicapai dalam suasana yang aman dan harmonis, bukan dalam bayang-bayang senjata dan ketakutan yang mencekam.