Serangan KKB Kembali Terjadi, Warga Papua Diajak Tetap Bersatu

Daerah, Opini76 views

buletinjubi.com-Penembakan dua pekerja bangunan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kampung Kwantapo, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, disebut sebagai Tindakan teror nyata.

Keduanya ditembak saat mengerjakan pembangunan Gereja GKI Imanuel Kampung Kwantapo. Kedua korban adalah Rahmat Hidayat, 45, dan Saepudin, 39, warga asal Purwakarta, Jawa Barat.

“Banyak yang khawatir kelompok separatis akan kembali melakukan serangan serupa. Namun seruan untuk tidak menyerah dan tetap bersatu menggema dari para tokoh,” kata Wakil Bupati Jayawijaya Papua, Ronny Elopere, dalam keterangan pers dikutip, Sabtu, 7 Juni 2025.

Ronny mengatakan penembakan itu adalah pelanggaran berat terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dia memastikan yang dilakukan pelaku bukan sebuah perjuangan, melainkan pembunuhan terhadap orang asli Papua, sehingga masyarakat hidup dalam bayang-bayang ketakutan.

“Namun kami, orang asli Papua tidak akan diam. Sekali lagi tindakan OPM ini bukan perjuangan melainkan pembunuhan. Kami akan bersinergi dengan TNI-Polri untuk mengusut tuntas,” jelasnya.

Sementara salah seorang warga asli Papua, Markus Murib, yang berhasil selamat mengaku sempat melihat keberutalan anggota OPM pimpinan Egianus Kogoya saat menembaki warga dengan senapan mesin, sesaat sebelum melarikan diri bersama warga lainnya.

“Kami hanya rakyat kecil yang ingin hidup damai. Kami tidak ingin jadi korban dari konflik yang bukan milik kami,” jelas Markus.

Markus mengaku tidak menyangka OPM saat ini menargetkan gereja sebagai sasaran teror mereka, bahkan dengan kejinya menyerang dan membunuh masyarakat.

Kejadian pilu ini langsung menuai kecaman dari para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah. Ketua Klasis Baliem Yalimo, Pendeta Eduard Su, mengatakan serangan ke gereja bukan hanya serangan terhadap manusia, tetapi juga penghinaan terhadap tempat suci.

Mewakili masyarakat khususnya orang asli Papua, Edward mengecam tindakan OPM yang jelas tidak lagi bisa ditoleransi, karena telah melampaui batas-batas kemanusiaan dan norma keagamaan.

“Gereja adalah tempat mencari kedamaian, bukan medan darah. Tindakan OPM ini jelas melecehkan dan menghina gereja, apalagi mereka tak segan-segan membunuh 2 warga kita yang sedang membangun rumah tuhan,” ungkap Eduard.

Kejadian ini menambah panjang daftar kekejaman OPM terhadap warga sipil, khususnya orang Papua asli. Tragedi berdarah  ini menjadi seyogianya momentum kebangkitkan semangat masyarakat Papua untuk melawan teror OPM dengan keberanian dan bersandar pada iman.

“Sudah cukup penderitaan yang mereka (OPM) timbulkan. Saatnya kita bersatu, menolak kekerasan dan berdiri teguh untuk perdamaian,” ujar Eduard.