Sebby Sambom Nikmati Hidup Mewah di Luar Negeri, Sementara Masyarakat Papua Menderita

Daerah, Hukrim2 views

buletinjubi.com-Di tengah penderitaan masyarakat Papua yang terus berhadapan dengan konflik, kemiskinan, dan ancaman kelompok bersenjata, keberadaan juru bicara Organisasi Papua Merdeka (OPM), Sebby Sambom, kembali menjadi sorotan. Tokoh yang kerap melontarkan provokasi dari luar negeri itu dinilai hanya menebar kebencian dan adu domba, sementara dirinya sendiri hidup dalam kenyamanan jauh dari Tanah Papua.

Bahkan, ia disebut menikmati hidup di negara maju dengan fasilitas serba ada, sementara masyarakat Papua di pedalaman dibiarkan kelaparan, sakit tanpa pengobatan, dan hidup dalam ketakutan akibat ulah kelompok bersenjata.

Tokoh masyarakat Papua, Markus Yikwa, mengecam keras perilaku Sebby Sambom yang dianggap tidak bertanggung jawab dan tidak mencerminkan sosok pejuang sejati. “Dia tinggal di luar negeri, hidup enak, makan kenyang, naik kendaraan mewah. Sementara anak-anak Papua mati kelaparan, sekolah dibakar, puskesmas dirusak oleh kelompok yang ia dukung,” tegas Markus, Minggu (13/7/2025).

Menurut Markus, Sebby Sambom hanya memanfaatkan isu Papua untuk kepentingan pribadi dan mencari simpati dunia internasional, tanpa memperjuangkan kebutuhan riil masyarakat Papua. “Kalau dia memang pejuang, kenapa tidak tinggal di Papua? Kenapa tidak melihat langsung penderitaan rakyat? Jangan hanya pandai bicara dari jauh, lalu lempar rakyat ke dalam jurang konflik,” lanjutnya.

Tokoh adat dari wilayah Laa Pago, Albertus Dogopia, juga menyatakan kekecewaannya terhadap narasi adu domba yang terus digaungkan oleh Sebby. Ia menilai, upaya memecah belah masyarakat dengan aparat hanya membuat rakyat semakin menderita. “Sebby tidak peduli. Dia hanya mengadu rakyat dengan tentara, supaya ada konflik, lalu dia bersuara seolah-olah pahlawan. Padahal dia pengecut yang sembunyi di negara orang,” kata Albertus.

Kenyataan bahwa Sebby Sambom hidup nyaman di luar negeri, sementara masyarakat Papua menjadi korban konflik yang tidak berkesudahan, menjadi ironi yang tidak bisa dibiarkan. Para tokoh Papua kini menyerukan agar rakyat tidak lagi terprovokasi oleh suara-suara asing yang tidak mewakili aspirasi rakyat sejati, tetapi justru menjadikan penderitaan sebagai alat politik.