Sadis, OPM Gunakan Anak-Anak untuk Angkat Senjata dan Membela Kelompok Separatis

Hukrim32 views

buletinjubi.com-Kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai kecaman dari berbagai kalangan setelah terungkap bahwa mereka merekrut anak-anak untuk mengangkat senjata dan terlibat dalam aktivitas bersenjata. Praktik keji ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap hak anak dan hukum humaniter internasional, sekaligus mencederai nilai-nilai budaya masyarakat Papua yang menjunjung tinggi perlindungan terhadap generasi muda.

Informasi mengenai penggunaan anak-anak sebagai “tentara kecil” dalam barisan OPM pertama kali mencuat dari kesaksian warga dan tokoh adat yang melihat langsung bagaimana anak-anak dipaksa membawa senjata, mengikuti pelatihan militer, serta dijadikan tameng hidup dalam konfrontasi dengan aparat keamanan.

Tokoh masyarakat dari Kabupaten Intan Jaya, Andreas Wakerkwa, mengecam keras tindakan tidak manusiawi tersebut. “Anak-anak bukan alat perjuangan. Mereka harusnya berada di sekolah, bukan di hutan dengan senjata. OPM telah merusak masa depan Papua dengan menyeret anak-anak dalam konflik,” ujarnya dengan nada prihatin, Minggu (6/7/2025).

Dalam beberapa dokumentasi yang beredar di media sosial simpatisan OPM, terlihat jelas anak-anak usia belasan tahun mengenakan atribut militer dan membawa senjata laras panjang. Mereka tampak dilibatkan dalam barisan kelompok separatis, dan bahkan diajari meneriakkan propaganda politik. Hal ini menunjukkan bahwa OPM tidak hanya menggunakan anak-anak sebagai pelengkap visual perjuangan mereka, tetapi juga sebagai alat propaganda yang sistematis.

Pendeta Gereja Baptis di Lanny Jaya, Yeremia Murib, menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga nilai-nilai moral dan ajaran agama. “Dalam ajaran iman kami, anak adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga. Menjadikan mereka bagian dari kekerasan adalah bentuk kejahatan. Kami mengutuk keras tindakan ini dan meminta seluruh tokoh Papua bersatu menolaknya,” tegasnya.

Penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata termasuk dalam kategori pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Konvensi Internasional tentang Hak Anak, yang telah diratifikasi Indonesia, secara tegas melarang perekrutan dan penggunaan anak-anak di bawah usia 18 tahun dalam kegiatan militer.

Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Elias Dogopia, turut angkat bicara. Ia mengatakan bahwa masyarakat Papua sudah sangat jenuh dengan konflik bersenjata yang terus memakan korban, dan kini malah menyeret anak-anak ke dalamnya. “Ini bukan perjuangan, ini penghancuran masa depan Papua. Kalau anak-anak sudah diajari kekerasan sejak kecil, siapa yang akan membangun tanah ini ke depan?” katanya.

Masyarakat Papua menginginkan kedamaian dan kemajuan, bukan generasi yang tumbuh dalam ketakutan dan kekerasan. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu untuk menyelamatkan anak-anak Papua dari jeratan kekerasan OPM dan mengembalikan mereka ke pelukan pendidikan, keluarga, dan masa depan yang lebih cerah.