buletinjubi.com-Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang selama ini mengklaim sebagai representasi perjuangan kemerdekaan rakyat Papua, kini tengah diguncang oleh konflik internal yang kian mengemuka. Retaknya keharmonisan dalam tubuh organisasi tersebut mencuat ke permukaan setelah sejumlah anggota dan simpatisan menolak mengikuti instruksi dari pimpinan mereka, dengan alasan hilangnya kepercayaan terhadap kepemimpinan yang dinilai tidak lagi berpihak pada tujuan bersama.
Krisis kepercayaan di tubuh OPM bermula dari ketidakpuasan yang muncul secara perlahan dari sejumlah anggota yang tersebar di wilayah Pegunungan Tengah, Lanny Jaya, Nduga, Intan Jaya, hingga Yahukimo. Kelompok-kelompok bersenjata di daerah tersebut mulai mempertanyakan kebijakan dan arah perjuangan yang diambil oleh pimpinan mereka, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Menurut salah satu sumber terpercaya dari kalangan mantan simpatisan OPM yang kini memilih kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), banyak anggota di lapangan mulai meragukan motif para pimpinan mereka.
“Mereka (pimpinan OPM) hanya duduk di tempat aman, memberi perintah, dan menggunakan nama rakyat Papua, padahal kami yang menderita di hutan, tidak ada makanan, selalu diburu aparat, dan tidak jelas arah perjuangan ini mau ke mana,” ungkapnya.
Selain ketidakpercayaan terhadap kinerja pimpinan, OPM juga menghadapi persoalan serius terkait kepemimpinan ganda yang menimbulkan kebingungan di kalangan anggota. Di satu sisi, terdapat kelompok pimpinan yang bermarkas di luar negeri dan gencar melakukan kampanye internasional. Di sisi lain, kelompok bersenjata di lapangan merasa merekalah yang menjadi garda terdepan dalam perjuangan dan pantas mendapat legitimasi utama.
Lebih dari itu, dukungan dari masyarakat Papua sendiri terhadap kelompok ini terus menurun. Warga yang tinggal di wilayah konflik menyatakan kelelahan dan ketakutan atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh OPM.
Tokoh masyarakat di Kabupaten Puncak, Pastor Elia Tabuni, menyatakan bahwa masyarakat hanya ingin hidup dalam damai. “Kami tidak butuh senjata. Kami butuh sekolah untuk anak-anak, rumah sakit yang layak, dan pasar yang aman. Kalau setiap hari kami harus hidup dalam ketakutan, itu bukan perjuangan, itu teror,” ujarnya.
Krisis kepercayaan ini juga mendorong semakin banyak anggota OPM yang memutuskan untuk menyerahkan diri kepada aparat keamanan dan kembali bergabung dengan NKRI. Data dari aparat menunjukkan peningkatan jumlah penyerahan diri selama enam bulan terakhir, terutama dari anggota yang sudah lelah hidup dalam pelarian tanpa arah yang jelas.
Retaknya keharmonisan dalam tubuh OPM merupakan cerminan nyata dari ketidakjelasan visi dan misi yang mereka usung. Ketika pemimpin tidak lagi dipercaya oleh anggotanya, maka organisasi tersebut telah kehilangan pijakan moral dan operasional. Masyarakat Papua telah banyak belajar dari penderitaan, dan kini mereka memilih untuk menatap masa depan yang damai dan sejahtera bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia.