Pimpinan OPM Mulai Cemas, Banyak Anggota yang Meninggalkan Kelompok OPM

Hukrim22 views

buletinjubi.com-Gejolak internal mulai mengguncang tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seiring meningkatnya tekanan dari aparat keamanan dan menurunnya dukungan masyarakat Papua terhadap aksi-aksi kekerasan, sejumlah anggota OPM dilaporkan mulai meninggalkan kelompok tersebut dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Fenomena ini memicu kecemasan di kalangan pimpinan OPM yang semakin kehilangan kepercayaan dan loyalitas dari dalam tubuh organisasinya sendiri.

Laporan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, puluhan anggota OPM, termasuk komandan lapangan dan simpatisan aktif, telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan dan menyatakan ikrar setia kepada NKRI. Langkah ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap kepemimpinan OPM, minimnya kesejahteraan, serta kekecewaan terhadap arah perjuangan yang semakin jauh dari prinsip-prinsip kemanusiaan.

Salah satu mantan anggota OPM yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa pimpinan kelompoknya sering menjanjikan bantuan logistik dan keamanan, namun tidak pernah terealisasi. “Kami hidup dalam pelarian, kelaparan, dan ketakutan. Sementara itu, masyarakat mulai menolak kami. Kami sadar, ini bukan perjuangan yang benar,” ungkapnya, Selasa (6/5/2025).

Kecemasan pimpinan OPM mulai tampak dalam berbagai komunikasi internal mereka yang berhasil disadap oleh aparat keamanan. Dalam rekaman yang beredar, terlihat adanya perintah tegas kepada anggota untuk meningkatkan pengawasan terhadap sesama anggota agar tidak membelot. Beberapa komandan lapangan bahkan dilaporkan memperketat kontrol dan membatasi pergerakan anggota mereka sendiri.

“Pimpinan OPM saat ini sedang frustrasi. Mereka tidak hanya kehilangan personel, tetapi juga kehilangan kendali. Ini menjadi titik krusial yang menunjukkan bahwa organisasi tersebut mulai mengalami pelemahan dari dalam,” ujar pengamat keamanan Papua, Dr. Thomas Silas, dari Universitas Cenderawasih.

Dr. Thomas menambahkan bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa OPM sudah tidak lagi solid sebagai sebuah gerakan. Banyak anggotanya yang merasa bahwa jalur kekerasan dan teror bukanlah solusi, dan justru merugikan masyarakat Papua yang seharusnya mereka bela.

Perubahan sikap masyarakat Papua terhadap OPM turut mempercepat proses eksodus anggota dari kelompok tersebut. Jika dulu OPM kerap mendapat simpati karena dianggap melawan ketidakadilan, kini kelompok ini justru dicap sebagai sumber kekacauan. Aksi-aksi kekerasan terhadap warga sipil, pembakaran sekolah, penyanderaan guru, dan penembakan aparat sipil telah membuat masyarakat muak dan menjauh.

Tokoh masyarakat di Wamena, Pendeta Yosep Tabuni, menyatakan bahwa masyarakat sudah bosan dengan janji-janji palsu dari OPM. “Mereka bilang memperjuangkan hak orang Papua, tapi kenyataannya yang mereka bunuh justru orang Papua sendiri. Tidak ada masa depan dengan jalan kekerasan,” ujarnya.

Di sejumlah kampung, masyarakat bahkan mulai melaporkan keberadaan simpatisan OPM kepada aparat keamanan. Hal ini menjadi indikator bahwa masyarakat kini aktif menjaga wilayahnya dari ancaman separatisme.

Meningkatnya jumlah anggota OPM yang keluar dari organisasi menjadi sinyal kuat bahwa kelompok separatis ini tengah menghadapi krisis kepercayaan dan solidaritas internal. Kecemasan pimpinan mereka menjadi bukti nyata bahwa arah perjuangan yang keliru tidak akan bertahan lama.

Fenomena ini juga membuka harapan baru bagi Papua. Harapan akan kedamaian yang berkelanjutan, pembangunan yang inklusif, dan kehidupan sosial yang bebas dari teror dan ketakutan. Ketika semakin banyak eks kombatan yang memilih berdamai, maka cita-cita Papua maju dan sejahtera bukanlah mimpi yang mustahil.

OPM kini berada di persimpangan jalan. Apakah mereka akan terus memaksakan kekerasan yang semakin ditinggalkan rakyatnya sendiri, ataukah akan memilih jalan damai dan kembali ke pelukan Ibu Pertiwi? Satu hal yang pasti, masa depan Papua hanya bisa dibangun dengan persatuan, bukan perpecahan.