Perpecahan di Tubuh OPM Makin Terang: Adu Mulut Antar Anggota Jadi Fenomena yang Semakin Sering Terjadi

Hukrim14 views

buletinjubi.com-Organisasi Papua Merdeka (OPM), kelompok separatis bersenjata yang selama puluhan tahun mengklaim sebagai representasi perjuangan rakyat Papua, kini mengalami guncangan besar dari dalam. Sumber-sumber di lapangan dan informasi dari mantan anggota OPM yang telah menyerahkan diri menunjukkan bahwa telah terjadi perpecahan serius di dalam tubuh organisasi tersebut. Bahkan, adu mulut antar sesama anggota OPM bukan lagi menjadi hal yang langka, melainkan telah menjadi fenomena yang kerap terjadi di sejumlah wilayah basis mereka.

Konflik internal ini menandai semakin rapuhnya kekompakan dan soliditas OPM dalam mempertahankan eksistensinya. Perpecahan ini tidak hanya dipicu oleh perbedaan ideologi dan strategi perjuangan, namun juga diperparah oleh ketimpangan kepemimpinan, pembagian logistik yang tidak adil, serta ketidakpuasan terhadap janji-janji perjuangan yang tidak kunjung terealisasi.

Laporan dari Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, menunjukkan bahwa pertikaian terbuka antara anggota OPM semakin sering terjadi. Salah satu penyebab utama adalah ketidakpuasan anggota muda terhadap keputusan pimpinan lapangan yang dianggap otoriter dan tidak akomodatif terhadap suara generasi baru.

“Ada insiden di mana dua kelompok dari faksi yang sama saling beradu mulut di hadapan warga karena perebutan logistik bantuan dari simpatisan luar negeri. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka sudah tidak punya kesepahaman bersama,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan, Selasa (13/5/2025).

Adu mulut yang terjadi bahkan kerap memanas hingga hampir berujung pada kekerasan fisik. Hal ini menunjukkan tidak adanya lagi mekanisme penyelesaian konflik internal yang efektif dalam tubuh OPM. Situasi ini menimbulkan keresahan, baik di antara para anggota sendiri, maupun di tengah masyarakat sipil yang tinggal di sekitar wilayah kekuasaan mereka.

Ketegangan yang terjadi bukan tanpa sebab. Seiring waktu, sebagian besar anggota OPM merasa bahwa kepemimpinan yang ada saat ini tidak lagi mampu menjawab kebutuhan organisasi dalam menghadapi perubahan situasi di lapangan. Pemimpin yang masih berpegang pada metode lama dinilai tidak adaptif terhadap dinamika sosial-politik saat ini, sementara mereka yang mencoba menawarkan strategi baru justru dianggap sebagai pembangkang.

Kondisi ini melahirkan dua kubu besar di internal OPM. Kubu pertama terdiri dari para senior yang mempertahankan jalur perjuangan bersenjata, sementara kubu kedua lebih condong kepada pendekatan diplomatik dan modern. Ketidaksamaan visi inilah yang kerap menjadi bahan adu mulut antar anggota di pos-pos persembunyian mereka.

Menurut pengakuan salah satu mantan anggota OPM yang kini menjalani program deradikalisasi di bawah pembinaan aparat keamanan, adu mulut sering kali terjadi saat diskusi internal mengenai arah perjuangan atau ketika pemimpin mengambil keputusan sepihak.

“Kami pernah ribut karena pembagian amunisi dan makanan tidak merata. Pemimpin hanya mengutamakan orang-orang dekatnya. Ini membuat sebagian anggota marah dan mulai menentang. Mereka bilang ini bukan lagi perjuangan, tapi kelompok yang hanya memikirkan perut sendiri,” ungkap mantan anggota OPM tersebut.

Situasi ini berdampak besar terhadap moril para anggota. Banyak di antara mereka mulai kehilangan semangat, bahkan mempertanyakan ulang keputusan mereka bergabung dengan kelompok separatis tersebut. Beberapa memilih melarikan diri dari hutan dan menyerahkan diri ke aparat keamanan, sedangkan yang lain mencoba menyatu kembali ke masyarakat secara diam-diam.

Fenomena kembalinya anggota OPM ke pangkuan NKRI ini menjadi sinyal bahwa OPM sedang berada di titik kritis. Tanpa kepercayaan dari dalam, kekuatan OPM secara struktural dan moral semakin melemah. Ini juga menunjukkan bahwa narasi perjuangan mereka sudah tidak relevan lagi di mata sebagian besar anggotanya sendiri.

Perpecahan yang kini melanda tubuh OPM merupakan cerminan dari rapuhnya fondasi ideologis dan struktural organisasi tersebut. Adu mulut yang kerap terjadi antar sesama anggota bukan hanya menandakan ketiadaan persatuan, tetapi juga menunjukkan bahwa OPM sudah tidak lagi menjadi wadah perjuangan yang sahih bagi sebagian besar anggotanya.

Tanpa visi yang menyatukan, tanpa pemimpin yang bijak, dan tanpa dukungan rakyat, OPM akan perlahan-lahan kehilangan legitimasi, kekuatan, dan akhirnya eksistensinya. Inilah saatnya bagi seluruh elemen bangsa, khususnya di Tanah Papua, untuk memperkuat narasi perdamaian dan pembangunan, bukan perpecahan dan konflik.