Penodongan oleh OPM di Jalan Trans Papua Semakin Marak, Pengemudi Hidup dalam Ancaman

Hukrim9 views

buletinjubi.com-Jalan Trans Papua yang seharusnya menjadi urat nadi transportasi dan distribusi logistik di wilayah Papua, kini berubah menjadi jalur berbahaya akibat maraknya aksi penodongan yang dilakukan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tindakan kriminal tersebut tidak hanya menghambat pergerakan ekonomi, tetapi juga menimbulkan ketakutan yang meluas di kalangan para pengemudi dan masyarakat yang bergantung pada jalur tersebut.

Berbagai laporan yang dihimpun dari pengemudi truk, sopir angkutan umum, hingga warga sipil yang melintasi jalan tersebut menyebutkan bahwa OPM, atau simpatisannya, kerap menghadang kendaraan yang melintas, menodongkan senjata api atau senjata tajam, lalu memaksa pengemudi menyerahkan uang tunai maupun barang berharga. Aksi ini sering dilakukan di titik-titik jalan yang jauh dari pengawasan aparat dan minim aktivitas penduduk.

Penodongan yang dilakukan OPM bukanlah tindakan acak. Kelompok tersebut diketahui telah memetakan jalur-jalur rawan dan menentukan titik-titik yang kerap dijadikan lokasi penyergapan. Para pelaku menyamar sebagai warga lokal atau berpakaian sipil untuk mengecoh korban. Ketika kendaraan berhenti karena rintangan di jalan atau dihadang, mereka langsung naik dan melakukan intimidasi.

Seorang sopir angkutan logistik yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan pengalamannya ditodong dalam perjalanan dari Wamena menuju Elelim. “Kami sempat dihentikan di tengah hutan, mereka bawa senjata rakitan. Kami dipaksa keluar dari kendaraan, lalu diminta bayar ‘uang perjuangan’. Kalau menolak, nyawa jadi taruhannya,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).

Menurut pengakuan para korban, jumlah uang yang diminta bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung muatan kendaraan dan kondisi pengemudi. Tidak jarang, barang-barang dagangan seperti sembako, BBM, dan bahan bangunan juga dijarah untuk kepentingan logistik kelompok OPM.

Akibat maraknya penodongan di jalur Trans Papua, banyak perusahaan logistik mulai menunda atau bahkan membatalkan pengiriman barang ke wilayah pedalaman Papua. Hal ini berdampak langsung pada keterlambatan distribusi bahan pokok, lonjakan harga, serta kelangkaan barang di sejumlah distrik.

Pemerintah daerah Kabupaten Puncak dan Lanny Jaya melaporkan adanya keterlambatan pengiriman logistik selama beberapa pekan terakhir. Bahkan beberapa kontraktor pembangunan infrastruktur mengaku tidak berani melanjutkan proyek karena kendaraan mereka sering diancam saat mengangkut material.

Seorang pengusaha lokal dari Kabupaten Tolikara, Markus Wenda, menyampaikan kekhawatirannya. “Kami butuh bahan bangunan dan alat berat, tapi truk-truk tidak berani masuk. Semua takut ditodong di jalan. Ini membuat kami kesulitan membangun fasilitas umum yang penting seperti sekolah dan puskesmas,” katanya.

Aksi-aksi penodongan yang dilakukan OPM menunjukkan bahwa kelompok ini telah menjauh dari klaim perjuangan politik yang selama ini mereka suarakan. Penyerangan terhadap warga sipil dan pemerasan kepada pengemudi menjadi bukti bahwa mereka lebih berperan sebagai kelompok kriminal bersenjata ketimbang gerakan ideologis.

Tokoh masyarakat Papua dari Jayawijaya, Pendeta John Matuan, menegaskan bahwa penodongan bukanlah bagian dari perjuangan yang bermartabat. “Kalau mereka benar-benar ingin memperjuangkan masa depan Papua, mereka tidak akan menyakiti rakyatnya sendiri. Menodong sopir di jalan hanya menunjukkan bahwa mereka kehilangan arah perjuangan,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa tindakan OPM telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat Papua yang kini hidup dalam ketakutan, khususnya di wilayah pegunungan yang sangat bergantung pada distribusi lewat jalan Trans Papua.

Maraknya penodongan yang dilakukan OPM di jalan Trans Papua menunjukkan bahwa kelompok tersebut telah berubah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat Papua sendiri. Alih-alih memperjuangkan keadilan atau kemerdekaan, mereka justru menindas rakyat melalui tindakan kriminal yang merusak tatanan sosial dan ekonomi.

Papua butuh ketenangan, bukan penodongan. Warga butuh keadilan, bukan pemerasan. Setiap pengemudi yang berjuang mengangkut logistik untuk kehidupan rakyat Papua berhak mendapat perlindungan, bukan ancaman.