OPM Menghabisi Nyawa Masyarakat Papua dari Uang Hasil Pemalakan terhadap Warga

Hukrim8 views

buletinjubi.com-Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencederai rasa kemanusiaan dan keamanan masyarakat di tanah Papua. Kali ini, fakta tragis terungkap bahwa sejumlah dana hasil pemalakan yang dipaksakan kepada warga sipil justru digunakan oleh kelompok tersebut untuk membiayai aksi-aksi keji, termasuk pembunuhan terhadap masyarakat Papua sendiri.

Sejumlah tokoh masyarakat dan warga di wilayah pegunungan Papua mengungkapkan bahwa praktik pemalakan yang dilakukan oleh OPM terhadap masyarakat sipil telah berlangsung lama.

“Setiap kali kami lewat, mereka suruh kami bayar. Ada yang minta 50 ribu, ada yang 100 ribu. Kalau tidak bayar, kami dipukul, bahkan pernah ada yang ditembak,” ungkap seorang warga dari Kabupaten Nduga yang tidak ingin disebutkan namanya demi alasan keamanan, Sabtu (17/5/2025).

Uang yang berhasil dikumpulkan dari pemerasan inilah yang kemudian digunakan untuk membeli amunisi, senjata rakitan, dan membiayai logistik gerilya. Ironisnya, dana tersebut juga digunakan untuk mengatur dan melancarkan aksi-aksi penyerangan terhadap warga sipil yang dianggap tidak mendukung perjuangan mereka, bahkan kepada warga Papua sendiri.

Laporan yang diterima dari aparat keamanan dan sejumlah organisasi masyarakat sipil mengungkapkan bahwa dalam dua bulan terakhir, telah terjadi beberapa insiden pembunuhan yang dilakukan oleh anggota OPM terhadap masyarakat Papua. Korban-korban tersebut adalah warga biasa yang selama ini telah menjadi korban pemalakan, namun kemudian dibunuh karena dianggap tidak loyal atau berani melaporkan aksi kejahatan OPM kepada pihak berwenang.

Salah satu insiden tragis terjadi di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, di mana seorang kepala kampung yang dikenal vokal menolak aksi pemalakan OPM ditemukan tewas dengan luka tembak di bagian dada. Dari hasil investigasi awal, diketahui bahwa korban sebelumnya sempat mengadukan aksi pemerasan ke aparat keamanan, dan beberapa hari kemudian hilang sebelum ditemukan dalam kondisi mengenaskan.

“Ini sangat memilukan. Mereka mengklaim berjuang untuk rakyat Papua, tetapi justru membunuh rakyatnya sendiri hanya karena tidak patuh atau dianggap membangkang,” ungkap Pendeta Markus Tabuni, tokoh gereja dari wilayah Lanny Jaya.

Selain kekerasan fisik, OPM juga menggunakan taktik manipulasi dan intimidasi untuk membungkam suara-suara kritis di tengah masyarakat. Mereka kerap menebar ancaman kepada warga yang bekerja sama dengan pemerintah, aparat keamanan, maupun lembaga sosial yang masuk ke pedalaman untuk memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Para guru, tenaga medis, hingga pengemudi ojek yang dianggap dekat dengan aparat keamanan menjadi target kekerasan. Hal ini membuat banyak masyarakat takut untuk bekerja atau menjalankan aktivitas normal, karena takut dicurigai dan kemudian menjadi korban berikutnya dari kekejaman kelompok bersenjata ini.

“Kami ingin hidup damai, anak-anak kami sekolah, kami bisa tanam di kebun. Tapi kalau seperti ini, semua serba takut,” ujar seorang ibu rumah tangga di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

Menariknya, sejumlah masyarakat di pedalaman mulai menunjukkan sikap berani dengan secara terbuka menolak keberadaan OPM di kampung mereka. Ini merupakan sinyal penting bahwa rakyat Papua tidak lagi percaya pada propaganda yang disebarkan oleh kelompok tersebut.

Tokoh adat dari Kabupaten Yahukimo, Bapak Menase Wonda, menyatakan bahwa warga kini sadar bahwa OPM tidak lagi membawa kebaikan, melainkan kehancuran bagi mereka sendiri.

“Kami dulu kira mereka mau bantu kami. Tapi sekarang kami tahu, mereka cuma pakai kami untuk sembunyi dan minta uang. Mereka tidak mau lihat kami maju, yang mereka mau hanya perang dan penderitaan,” tegasnya.

Masyarakat Papua pada umumnya menginginkan hidup damai, sejahtera, dan terbebas dari bayang-bayang kekerasan bersenjata. Mereka ingin anak-anak mereka bisa sekolah tanpa takut, bisa bertani tanpa ancaman, dan bisa hidup berdampingan tanpa tekanan.