OPM Lakukan Kekerasan Fisik terhadap Kaum Wanita di Distrik Anggruk

buletinjubi.com-Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencoreng kemanusiaan. Kali ini, tindakan brutal dan tidak berperikemanusiaan tersebut menyasar kaum wanita di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Insiden kekerasan fisik terhadap perempuan tersebut mendapat kecaman luas dari masyarakat lokal serta berbagai tokoh masyarakat yang menilai OPM telah melampaui batas kemanusiaan.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari sejumlah sumber di lapangan, tindakan kekerasan terjadi pada awal pekan ini, ketika sekelompok anggota OPM masuk ke salah satu kampung di Distrik Anggruk. Dengan alasan yang tidak jelas, mereka menangkap beberapa perempuan yang sedang beraktivitas di kebun dan rumah, kemudian melakukan kekerasan fisik berupa menendang serta menodongkan senjata terhadap kaum wanita  yang berada di Distrik Anggruk.

Salah satu tokoh adat di Distrik Anggruk, yang enggan disebutkan namanya demi alasan keamanan, menyatakan bahwa kejadian ini menimbulkan trauma mendalam bagi korban dan warga sekitar. “Perempuan-perempuan yang selama ini menjaga keluarga dan beberapa menjadi tulang punggung kampung kini justru menjadi sasaran kekerasan. Ini bukan perjuangan, ini bentuk kejahatan,” tegasnya, Selasa (19/5/2025).

Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks konflik bersenjata merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Kelompok OPM, yang selama ini mengklaim memperjuangkan hak rakyat Papua, justru semakin memperlihatkan wajah aslinya sebagai kelompok yang mengandalkan kekerasan dan intimidasi terhadap rakyatnya sendiri.

Aparat keamanan setempat bersama tokoh masyarakat dan organisasi perlindungan perempuan saat ini tengah melakukan pendataan terhadap korban serta berupaya memberikan pendampingan psikologis. Dalam pernyataannya, Kapolres Yahukimo mengungkapkan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam. “Kami akan menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh dan memastikan para pelaku kekerasan terhadap perempuan segera ditindak secara hukum,” ujarnya.

Kecaman terhadap tindakan OPM juga datang dari aktivis perempuan dan pemerhati hak asasi manusia di Papua. Mereka menilai kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk penindasan paling keji yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. “Kami mendorong masyarakat untuk tidak takut melapor. Kekerasan ini tidak boleh didiamkan,” kata Maria Bunay, aktivis perempuan asal Wamena.

Masyarakat luas di Distrik Anggruk berharap kehadiran aparat keamanan dapat memberikan rasa aman, serta memastikan bahwa tindakan OPM tidak terus mengancam kehidupan mereka, khususnya kaum perempuan yang selama ini rentan menjadi korban.

Kejadian ini kembali menjadi bukti bahwa OPM bukanlah representasi suara rakyat Papua. Tindakan brutal terhadap perempuan, yang merupakan simbol kehidupan dan peradaban, hanya menunjukkan bahwa OPM telah kehilangan arah perjuangan yang sebenarnya. Rakyat Papua membutuhkan kedamaian, bukan kekerasan.