buletinjubi.com-Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan di Papua. Di tengah klaim mereka sebagai pejuang kemerdekaan bagi Papua, realitas di lapangan menunjukkan ironi yang menyedihkan: anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa, justru menjadi korban dari konflik berkepanjangan yang terus dipicu oleh kelompok bersenjata tersebut.
Berbagai aksi kekerasan dan gangguan keamanan yang dilakukan oleh OPM di sejumlah wilayah, termasuk pembakaran sekolah, penyanderaan guru, serta intimidasi terhadap siswa dan tenaga pengajar, telah membuat akses pendidikan anak-anak Papua menjadi sangat terganggu. Bahkan, di beberapa distrik, aktivitas belajar-mengajar harus dihentikan total karena rasa takut yang menghantui.
Tokoh pendidikan Papua, Albertus Kadepa, menyampaikan keprihatinannya atas kondisi tersebut. “Bagaimana mungkin kita bisa bicara soal masa depan Papua jika anak-anak kita tidak bisa sekolah dengan aman? Mereka ini yang akan menentukan arah tanah ini ke depan, tetapi justru jadi korban dari konflik yang tidak mereka mengerti,” ujarnya, Rabu (9/7/2025).
Albertus juga menegaskan bahwa segala bentuk perjuangan yang mengorbankan pendidikan anak adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan Papua itu sendiri. “Kalau OPM benar-benar cinta Papua, lindungi anak-anak. Jangan jadikan sekolah sebagai medan konflik,” tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh gereja, Pendeta Aser Nawipa, yang menyebut bahwa tindakan-tindakan OPM telah menyimpang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan kasih. “Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk membakar harapan. Sekolah adalah tempat anak-anak bertumbuh, bukan tempat untuk dijadikan sasaran kebencian atau intimidasi. Ini bukan perjuangan, ini penghancuran,” ujarnya tegas.
Di sisi lain, masyarakat adat mulai menunjukkan sikap tegas terhadap aksi OPM yang merusak sendi-sendi kehidupan, khususnya pendidikan. Ketua Dewan Adat Lembah Baliem, Yulius Wenda, menyatakan bahwa pihaknya sangat kecewa terhadap tindakan kelompok yang mengatasnamakan perjuangan namun justru menabur ketakutan di tengah rakyat. “OPM selalu bicara soal kemerdekaan, tapi kemerdekaan apa yang ditawarkan kalau anak-anak tidak bisa belajar, tumbuh, dan bermimpi?” ucap Yulius.
Kenyataan bahwa anak-anak Papua kehilangan hak dasar mereka untuk belajar dan berkembang menjadi alarm keras bagi seluruh elemen bangsa. Negara dan masyarakat sipil dituntut hadir lebih aktif melindungi mereka dari ancaman kelompok yang menjadikan kekerasan sebagai alat utama perjuangan.
Dengan makin banyak tokoh yang bersuara, harapannya adalah agar kesadaran kolektif bisa tumbuh dan menolak segala bentuk kekerasan atas nama perjuangan. Anak-anak Papua berhak atas masa depan yang damai, bukan dibesarkan dalam bayang-bayang senjata.