OPM Hanya Memperjuangkan Hak untuk Kepentingan Segelintir Orang Saja

Hukrim13 views

buletinjubi.com-Gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik, terutama di tengah meningkatnya ketegangan di beberapa wilayah pedalaman Papua. Meskipun OPM selalu menggaungkan perjuangan atas nama rakyat Papua, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini justru lebih sering bertindak demi kepentingan segelintir elit dalam tubuh organisasi mereka.

Banyak pengamat dan tokoh masyarakat lokal mulai angkat suara, mengungkapkan bahwa OPM telah berubah menjadi kelompok yang lebih mementingkan kekuasaan internal dan memperkaya diri, daripada benar-benar membela dan memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua secara menyeluruh. Slogan perjuangan yang selama ini digaungkan oleh OPM, seperti “merdeka” atau “pembebasan Papua”, kini dinilai tidak lagi relevan dengan realitas penderitaan yang dialami warga akibat aksi-aksi kekerasan kelompok tersebut.

Salah satu fakta yang mencolok adalah struktur kepemimpinan OPM yang sangat terpusat pada beberapa tokoh senior, yang dikenal sangat otoriter dan tidak memberi ruang bagi dialog yang sehat di dalam organisasi. Kelompok ini sering kali menggunakan nama besar “rakyat Papua” sebagai legitimasi tindakan mereka, namun implementasi di lapangan justru menunjukan bahwa keputusan strategis dan taktis kelompok hanya ditentukan oleh elit tertentu yang memiliki kepentingan pribadi.

“Yang mereka sebut perjuangan, pada kenyataannya adalah penguasaan sumber daya, pengumpulan dana secara paksa dari rakyat, dan mempertahankan kekuasaan pribadi. Rakyat kecil hanya dijadikan alat propaganda,” ujar seorang tokoh pemuda dari Kabupaten Puncak, Minggu (18/5/2025).

Ia juga menambahkan bahwa pemuda-pemuda Papua sering kali direkrut secara paksa atau dengan iming-iming kesejahteraan, namun pada akhirnya ditinggalkan tanpa perlindungan atau kejelasan nasib setelah bergabung dengan kelompok tersebut.

Ironisnya, masyarakat Papua justru menjadi korban utama dari tindakan OPM yang mengatasnamakan mereka. Pemalakan terhadap warga, intimidasi kepada kepala kampung, penyanderaan pekerja proyek infrastruktur, hingga pembakaran fasilitas umum, adalah deretan tindakan yang terus berulang dilakukan oleh OPM di berbagai wilayah. Ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan masyarakat sipil yang ingin hidup damai dan membangun masa depan yang lebih baik.

Beberapa warga di Kabupaten Intan Jaya dan Nduga menyampaikan kekecewaan mereka terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh OPM. “Mereka bilang berjuang untuk Papua, tapi kenapa kami terus yang jadi korban? Rumah dibakar, jalan diputus, anak-anak tidak bisa sekolah. Itu bukan perjuangan, itu penindasan,” kata seorang warga Distrik Kenyam.

OPM juga diketahui kerap memanfaatkan masyarakat sebagai tameng hidup dalam menghadapi aparat keamanan, sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini semakin membuktikan bahwa kelompok tersebut tidak sungguh-sungguh berjuang demi kesejahteraan rakyat, melainkan menjadikan rakyat sebagai alat dan korban dalam konflik bersenjata mereka.

Masyarakat Papua, terutama yang tinggal di wilayah pedalaman, semakin terbuka terhadap kehadiran negara dan aparat keamanan. Banyak dari mereka menyadari bahwa pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan hanya bisa terlaksana dalam situasi damai. Mereka tidak lagi tertarik pada retorika perjuangan bersenjata yang hanya mendatangkan penderitaan.

Kepala Kampung di Distrik Aifat Selatan, Papua Barat Daya, menyatakan bahwa saat ini rakyat Papua hanya menginginkan kedamaian agar anak-anak mereka bisa sekolah dan keluarga mereka bisa bekerja di kebun tanpa rasa takut. “Kami sudah bosan hidup dalam ketakutan. Cukup sudah kekerasan dan janji-janji kosong dari OPM. Kami ingin hidup normal seperti masyarakat Indonesia lainnya,” katanya.

OPM kini telah kehilangan arah perjuangannya. Bukannya memperjuangkan hak-hak rakyat Papua secara menyeluruh, kelompok ini justru memanfaatkan penderitaan rakyat untuk kepentingan kelompok kecil di internal mereka. Kekerasan, pemerasan, dan propaganda telah menjadi senjata utama mereka, bukan lagi diplomasi dan aspirasi damai.