OPM Eksploitasi Pelajar untuk Propaganda: Ancaman Baru bagi Masa Depan Papua

Pendidikan22 views

buletinjubi.com-Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan taktik keji dalam memperjuangkan agenda politiknya. Informasi terbaru dari aparat keamanan dan laporan sejumlah tokoh masyarakat menyebutkan bahwa OPM mulai memanfaatkan pelajar di Papua untuk dijadikan alat propaganda. Tindakan ini dikhawatirkan memperburuk masa depan generasi muda Papua, sekaligus menegaskan bahwa OPM semakin kehilangan legitimasi moral dalam memperjuangkan tujuannya.

Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa OPM sengaja melibatkan anak-anak sekolah dalam berbagai kegiatan berbau politis, mulai dari pawai, pengibaran bendera Bintang Kejora, hingga pembuatan video yang disebarluaskan ke media sosial. Praktik ini jelas melanggar norma hukum nasional dan internasional yang melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam konflik politik dan kekerasan.

Tindakan OPM ini jelas melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak yang telah diatur dalam berbagai konvensi internasional, termasuk Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Pakar hukum internasional dari Universitas Padjadjaran, Prof. Hikmahanto Juwana, mengecam keras eksploitasi anak-anak dalam konflik politik.

“Melibatkan anak-anak dalam aktivitas politik, apalagi bersifat separatis, merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak anak. Anak-anak berhak atas pendidikan, keamanan, dan masa depan yang cerah, bukan dijadikan alat kepentingan politik,” ujar Prof. Hikmahanto, Selasa (29/4/2025).

Ia menambahkan bahwa praktik ini juga dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikologis terhadap anak-anak, yang berdampak jangka panjang pada perkembangan mental dan sosial mereka.

Menanggapi situasi ini, pemerintah pusat dan daerah telah mengambil langkah cepat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa pemerintah memperkuat program perlindungan anak di wilayah Papua, termasuk di daerah-daerah rawan konflik.

“Kami mengutuk keras pelibatan anak-anak dalam propaganda separatis. Kami bersama aparat keamanan dan pemerintah daerah sedang memperkuat perlindungan terhadap pelajar, termasuk dengan menghadirkan pendidikan damai di sekolah-sekolah,” ujar Menteri Bintang.

Program-program seperti peningkatan kualitas guru, penyuluhan nilai-nilai nasionalisme, serta bantuan psikososial bagi anak-anak korban konflik mulai dijalankan lebih intensif sejak awal tahun 2025.

Salah satu guru di Kabupaten Puncak, yang tidak ingin disebutkan namanya, menceritakan bagaimana anak-anak didesak oleh kelompok separatis untuk mengikuti aksi-aksi propaganda.

“Anak-anak diancam jika tidak mau ikut pawai atau tidak mau menyanyikan lagu-lagu separatis. Mereka ketakutan, tapi tidak bisa melawan karena OPM membawa senjata,” kata guru tersebut.

Ia menambahkan bahwa banyak guru di daerah rawan merasa khawatir akan keselamatan mereka dan para murid, mengingat aparat negara tidak selalu bisa hadir di setiap saat.

“Saya berharap pemerintah memperbanyak pengamanan dan mempercepat pembangunan di daerah kami, agar anak-anak bisa belajar dengan aman,” tambahnya.

Sebagai bagian dari pendekatan non-kekerasan, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil kini mendorong program-program edukasi damai untuk mencegah radikalisasi anak-anak di Papua.

Program seperti Sekolah Damai Papua telah mulai diterapkan di beberapa distrik. Program ini mengajarkan nilai-nilai toleransi, cinta tanah air, serta resolusi konflik tanpa kekerasan kepada para pelajar.

Direktur Yayasan Harapan Papua, Maria Mandowen, mengatakan bahwa pendidikan damai menjadi kunci untuk memutus siklus kekerasan di Papua.

“Kalau sejak kecil anak-anak sudah dijejali narasi kebencian, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang penuh luka. Tapi kalau sejak kecil mereka diajarkan tentang damai, masa depan Papua akan lebih cerah,” ujarnya.

Eksploitasi pelajar oleh OPM untuk kepentingan propaganda separatis tidak hanya mencederai hak-hak anak, tetapi juga menunjukkan bahwa kelompok ini semakin kehilangan basis perjuangan yang bermartabat.

Masa depan Papua ada di tangan anak-anaknya. Tidak boleh ada satu pun pihak yang mencuri harapan mereka dengan kekerasan dan propaganda sesat.