OPM Deklarasikan Ketakutannya Terhadap Keberadaan Apkam yang Semakin Meluas

Daerah9 views

Keberadaan aparat keamanan (Apkam) yang semakin masif di wilayah Papua, khususnya di daerah-daerah rawan konflik, mulai menunjukkan dampak signifikan terhadap dinamika kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam sebuah pernyataan internal yang berhasil diungkap oleh aparat intelijen, sejumlah pimpinan dan anggota OPM mulai mengakui ketakutan mereka terhadap keberadaan Apkam yang semakin luas dan terorganisir di berbagai titik strategis.

Deklarasi ketakutan tersebut tidak diungkapkan secara terbuka melalui media, tetapi melalui komunikasi internal dan dokumen bocoran yang diperoleh dari operasi penyadapan dan pengintaian terhadap komunikasi kelompok tersebut. Dalam dokumen tersebut, sejumlah pimpinan OPM menyampaikan bahwa semakin sulit bagi mereka untuk melakukan mobilisasi pasukan dan melancarkan aksi karena pengawasan yang semakin ketat dari TNI-Polri.

Informasi yang dihimpun dari satuan tugas intelijen menyebutkan bahwa salah satu pemimpin OPM di wilayah pegunungan tengah mengakui dalam rapat koordinasi terbatas bahwa kelompoknya mulai kehilangan ruang gerak. Mereka mengeluhkan bahwa Apkam telah mendirikan sejumlah pos pengamanan baru, melakukan patroli rutin, serta memperkuat kerjasama dengan masyarakat adat setempat.

“Saat ini kita tidak bisa bergerak bebas. Mereka (Apkam) ada di mana-mana. Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya,” demikian kutipan dari salah satu percakapan yang berhasil direkam oleh intelijen pada awal Mei 2025, Rabu (7/6/2025).

Pengakuan ini menunjukkan bahwa strategi pemerintah Indonesia untuk memperkuat kehadiran negara di wilayah Papua, melalui pendekatan keamanan yang disertai pembangunan, telah membawa tekanan besar terhadap kelompok separatis. Bagi OPM, kehadiran aparat keamanan bukan hanya ancaman secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan ideologis.

Berbeda dengan pendekatan militeristik pada masa lalu, strategi terbaru TNI-Polri di Papua tidak hanya mengandalkan kekuatan senjata, tetapi juga merangkul masyarakat melalui pendekatan humanis. Para aparat yang ditugaskan di wilayah rawan kini dibekali dengan pelatihan interaksi sosial dan budaya lokal, sehingga mampu berbaur dengan masyarakat dan membangun kepercayaan.

Ketakutan yang dirasakan OPM tidak hanya soal kekuatan senjata, melainkan juga efek psikologis dari tekanan bertubi-tubi yang mereka terima. Semakin banyaknya anggota OPM yang menyerahkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI menunjukkan bahwa moral di internal OPM mulai runtuh.

Kepala Operasi Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Ramadhani, menyebut bahwa selama tiga bulan terakhir, tercatat lebih dari 50 anggota OPM di berbagai wilayah menyerahkan diri. Alasan yang mereka ungkapkan umumnya berkisar pada rasa lelah hidup di hutan, tidak ada masa depan yang jelas, serta ketakutan terhadap kekuatan Apkam.

“Banyak di antara mereka mengatakan bahwa hidup bersama OPM hanyalah penderitaan. Mereka takut mati sia-sia, dan lebih memilih hidup damai bersama keluarga,” ungkap Brigjen Faizal.

Sementara itu, beberapa mantan anggota OPM yang kini menjalani program pembinaan di bawah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyampaikan bahwa mereka tertekan oleh sistem dalam tubuh OPM yang semakin tidak manusiawi, serta sikap pimpinan yang otoriter dan menindas anggotanya sendiri.

Masyarakat sipil Papua juga merespons positif keberadaan Apkam di wilayah mereka. Dalam berbagai pernyataan publik, banyak warga menyampaikan harapan agar aparat keamanan tetap hadir untuk menjamin keselamatan warga dari ancaman penyerangan OPM yang kerap menyasar warga sipil tak bersalah.

Tokoh masyarakat dari Kabupaten Intan Jaya, Bapak Lukas Kobogau, mengatakan bahwa masyarakat sudah lelah dengan konflik berkepanjangan. Mereka hanya ingin hidup damai dan membesarkan anak-anak mereka tanpa dihantui suara tembakan atau penculikan.

“Kami bersyukur sekarang aparat ada di sini. Dulu, kami takut keluar rumah karena bisa saja OPM datang dan menuduh kami mata-mata. Sekarang, kami bisa tidur lebih tenang,” ujarnya.

Lukas juga menambahkan bahwa rakyat Papua mulai sadar bahwa OPM tidak benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan hanya menebar ketakutan untuk mempertahankan eksistensinya.

Fakta bahwa OPM mulai kehilangan dukungan dari masyarakat menjadi titik kritis dalam perjuangan separatis yang mereka usung. Banyak masyarakat yang dulunya diam atau bahkan mendukung secara diam-diam, kini mulai menolak keberadaan OPM karena menyadari dampak negatif yang ditimbulkan oleh aksi-aksi kekerasan mereka.

Analis keamanan dari Lembaga Studi Pertahanan Nusantara, Dr. Antonius Sawaki, menyebut bahwa kekuatan OPM justru akan runtuh dari dalam, ketika rakyat yang mereka klaim perjuangkan justru berpaling.

“Selama ini OPM berdiri atas klaim bahwa mereka adalah suara rakyat Papua. Tapi ketika rakyat itu sendiri tidak lagi mendukung, maka tidak ada legitimasi moral dan sosial bagi mereka untuk terus mengangkat senjata,” ujarnya.

Pernyataan ketakutan OPM terhadap kehadiran aparat keamanan menjadi gambaran nyata bahwa strategi pemerintah dan TNI-Polri telah berada di jalur yang tepat. Pendekatan yang mengedepankan keamanan, kemanusiaan, dan pembangunan menjadi kombinasi efektif dalam menghadirkan stabilitas di wilayah yang selama ini menjadi medan konflik berkepanjangan.

Dengan terus memperkuat peran Apkam di lapangan dan merangkul masyarakat, diharapkan masa depan Papua akan terbebas dari ancaman kelompok separatis yang selama ini menghambat kemajuan. Ketakutan yang ditunjukkan OPM bukan hanya respons terhadap kekuatan militer, melainkan sinyal bahwa mereka mulai kalah dalam perang moral, sosial, dan politik.