buletinjubi.com-Keinginan tulus para warga pendatang yang datang ke Papua untuk membantu membangun dan memajukan tanah Papua sering kali dibalas dengan kekerasan dan pembunuhan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Tindakan keji ini tidak hanya menghambat pembangunan di Papua, tetapi juga menebar ketakutan yang melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak warga pendatang yang sejatinya datang dengan semangat pengabdian, justru harus kehilangan nyawa atau hidup dalam tekanan dan intimidasi.
Terbaru, pada awal Mei 2025, seorang pedagang asal Makassar yang membuka toko kebutuhan pokok di Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, tewas ditembak di depan rumahnya oleh anggota OPM. Aksi ini menciptakan kepanikan dan ketakutan mendalam di kalangan pendatang yang berusaha mencari nafkah di Papua.
Teror demi teror yang dilakukan OPM terhadap warga pendatang telah membuat banyak dari mereka memilih untuk kembali ke kampung halaman. Padahal, mereka datang dengan semangat untuk mencari nafkah yang halal dan turut berkontribusi dalam pembangunan. Akibatnya, terjadi kekosongan tenaga kerja di beberapa sektor vital, seperti pendidikan, kesehatan, dan logistik.
“Kami datang ke Papua untuk mengabdi, bukan untuk berpolitik. Tapi mengapa kami dijadikan target? Ini sangat menyakitkan,” ujar Anton, seorang guru asal Maluku yang bertugas di wilayah Pegunungan Tengah dan baru saja kembali ke kota setelah ancaman pembunuhan dari OPM, Jumat (23/5/2025).
Banyak warga asli Papua yang justru merasa kehilangan atas kepergian para pendatang. Di beberapa daerah, pendatang telah menjadi bagian penting dari komunitas lokal. Mereka membantu mengajar anak-anak, membuka akses kesehatan, hingga memperdagangkan barang-barang kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
“Kalau mereka semua pergi, siapa yang bantu kami?” keluh Elisa, warga asli dari Kabupaten Nduga. “Anak-anak tidak bisa sekolah. Kalau sakit, tidak ada yang obati. Kami butuh mereka.”
Hal ini menunjukkan bahwa kekejaman OPM bukan hanya menyerang pendatang, tetapi juga menyengsarakan masyarakat Papua sendiri. Tindakan kekerasan yang mereka lakukan telah menghambat akses terhadap pelayanan dasar dan memperburuk kualitas hidup warga setempat.
Banyak tokoh masyarakat dan adat di Papua menyayangkan tindakan brutal OPM terhadap warga pendatang. Mereka menilai bahwa kekerasan bukanlah jalan menuju keadilan atau kedaulatan. Sebaliknya, kerja sama dan keterbukaan terhadap pihak luar justru akan mempercepat kemajuan Papua.
Ketua Dewan Adat Papua, Markus Kogoya, menyampaikan bahwa warga pendatang telah banyak berkontribusi dalam membangun Papua. “Kita tidak bisa tutup mata. Tanpa mereka, banyak kampung tidak punya guru, tidak punya dokter, tidak punya jalan. Kalau mereka dibunuh, yang rugi kita semua,” tegasnya.
Papua memiliki potensi besar untuk maju dan berkembang sejajar dengan wilayah lain di Indonesia. Namun, cita-cita tersebut tidak akan tercapai jika masih ada kelompok yang menyebar teror dan kekerasan. Tindakan OPM yang membunuh warga pendatang bukan hanya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga merusak masa depan Papua sendiri.
Saatnya masyarakat Papua bersatu dan menolak kekerasan sebagai cara untuk memperjuangkan hak. Pembangunan hanya bisa berjalan jika ada rasa aman, dan keamanan hanya tercipta jika seluruh elemen masyarakat, baik asli maupun pendatang, hidup berdampingan secara damai.