Kian Banyak Anggota OPM Kembali ke Pangkuan NKRI: Cermin Ketidaknyamanan dan Kekecewaan di Dalam Tubuh Organisasi

Hukrim6 views

buletinjubi.com-Fenomena kembalinya para anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Peristiwa ini bukan hanya mencerminkan keberhasilan pendekatan persuasif yang dilakukan oleh negara, tetapi juga menjadi penanda jelas akan ketidaknyamanan dan kekecewaan yang dirasakan para anggota OPM terhadap dinamika internal gerakan tersebut.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Intelijen Negara (BIN) Wilayah Papua dan Polda Papua, sejak awal 2023 hingga April 2025, lebih dari 250 orang yang mengaku sebagai eks anggota OPM telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan. Mereka berasal dari berbagai wilayah seperti Intan Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, hingga Lanny Jaya. Para eks kombatan ini datang dengan sukarela, membawa senjata, dan menyatakan komitmen untuk kembali hidup sebagai warga negara yang taat hukum.

Dari berbagai kesaksian yang berhasil dikumpulkan, alasan utama yang mendorong mereka keluar dari OPM adalah ketidaknyamanan yang mendalam terhadap pola kepemimpinan yang otoriter, penyalahgunaan logistik bantuan, serta seringnya terjadinya tindakan kekerasan internal dalam kelompok.

“Saya bergabung karena diajak dan dijanjikan akan berjuang untuk Papua merdeka. Tapi kenyataannya, kami hanya disuruh angkat senjata dan menyerang warga sipil. Tidak ada strategi jelas, tidak ada rasa aman. Hanya rasa lapar, takut, dan diperintah tanpa arah,” kata FW, seorang mantan anggota OPM dari wilayah Pegunungan Tengah yang kini mengikuti program pembinaan di Jayapura, Sabtu (3/5/2025).

Ia mengaku sering kali melihat sesama anggota kelompoknya mendapatkan hukuman fisik hanya karena mempertanyakan arah perjuangan atau meminta makanan. Ia juga menyebut bahwa sebagian besar anggota OPM hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, bertahan hidup di hutan tanpa pasokan logistik yang memadai, dan tidak mendapat dukungan dari jaringan luar negeri sebagaimana dijanjikan oleh para pemimpin mereka.

Tidak hanya ketidaknyamanan operasional, para mantan anggota OPM juga menyatakan kekecewaan mendalam terhadap janji-janji perjuangan yang tidak pernah terbukti. Mereka merasa dimanipulasi secara ideologis dan dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir elite separatis yang berada di luar negeri.

“Katanya perjuangan ini didukung internasional, katanya akan ada bantuan dari luar. Tapi yang kami hadapi hanya lapar dan ketakutan. Mereka di luar negeri enak-enak bikin konferensi, kami di hutan hidup seperti binatang,” ujar HT, eks anggota OPM dari Intan Jaya.

Kekecewaan ini semakin dalam ketika banyak dari mereka menyadari bahwa aksi kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata sering kali justru menyasar masyarakat sipil Papua sendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan moral yang mendorong mereka untuk keluar dan menyerahkan diri.

Langkah para eks OPM ini mendapat dukungan luas dari tokoh adat dan masyarakat lokal. Banyak pemimpin suku dan pemuka agama menyambut baik kembalinya anak-anak Papua ke pangkuan negara, dengan harapan dapat menciptakan kedamaian dan memperkuat pembangunan di wilayah pedalaman.

Kepala Suku Besar di Kabupaten Yahukimo, Silas Wanimbo, menyatakan bahwa masyarakat adat siap memaafkan dan menerima kembali para eks OPM sebagai bagian dari komunitas, asalkan mereka benar-benar meninggalkan kekerasan.

“Anak yang tersesat tetap anak kita. Kalau mereka kembali dengan hati tulus, kita buka tangan dan peluk mereka. Tapi jangan ulangi kekerasan, jangan bawa senjata lagi. Mari bangun kampung bersama,” kata Silas dalam pernyataannya di sela acara serah terima eks kombatan di Dekai.

Kembalinya anggota OPM ke NKRI tidak hanya menjadi angka statistik, tetapi merupakan simbol dari sebuah transformasi sosial yang lebih besar. Ketika para eks kombatan bersedia membuka lembaran baru dan masyarakat menyambut mereka dengan keterbukaan, maka masa depan Papua sebagai bagian dari Indonesia yang damai dan sejahtera bukan lagi sekadar harapan.