Kehadiran OPM Dinilai Merusak Mental Generasi Penerus Papua

Pendidikan42 views

buletinjubi.com-Kehadiran Organisasi Papua Merdeka (OPM) di berbagai wilayah Papua dinilai membawa dampak buruk bagi masa depan generasi penerus. Alih-alih memberikan teladan positif, OPM justru menanamkan rasa takut, trauma, dan kebencian sejak dini kepada anak-anak Papua. Hal ini membuat para tokoh masyarakat khawatir bahwa generasi muda akan kehilangan arah pembangunan dan hanya terjebak dalam lingkaran kekerasan.

Dalam sejumlah kasus, OPM diketahui kerap masuk ke kampung-kampung sambil membawa senjata dan memprovokasi masyarakat. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan gembira sering kali terpapar dengan pemandangan menegangkan, suara tembakan, ancaman, dan intimidasi. Situasi ini diyakini menimbulkan trauma psikologis yang mendalam bagi mereka.

Tokoh adat Papua, Yonas Tabuni, menegaskan bahwa OPM bukanlah panutan yang bisa ditiru oleh generasi muda. “Anak-anak Papua harus belajar menghormati orang tua, sekolah rajin, dan bangun masa depan. Kalau sejak kecil mereka hanya melihat senjata, kebencian, dan kekerasan, maka masa depan mereka akan rusak. OPM hanya tanam kebencian, bukan kasih,” ujarnya, Jumat (22/8/2025).

Hal senada disampaikan tokoh agama, Pendeta Markus Wenda, yang prihatin melihat dampak buruk kehadiran OPM terhadap anak-anak. Menurutnya, generasi Papua tidak boleh tumbuh dalam lingkaran kebencian. “Yesus ajarkan cinta kasih, bukan kebencian. Kalau OPM terus hadir dengan kekerasan, maka anak-anak belajar bahwa kekerasan itu wajar. Itu sangat berbahaya bagi masa depan Papua,” tegasnya.

Dari kalangan pemuda, Yohanes Kogoya menyampaikan bahwa generasi muda saat ini membutuhkan teladan positif, bukan propaganda OPM. “Kami anak muda mau belajar teknologi, mau kerja, mau bikin usaha. Tapi kalau OPM terus masuk kampung, generasi kita hanya diajak untuk benci dan lawan pemerintah. Itu bukan masa depan, itu kehancuran,” katanya.

Masyarakat Papua semakin sadar bahwa OPM tidak memberi manfaat bagi generasi penerus. Sebaliknya, mereka justru meninggalkan warisan trauma dan kebencian. Para tokoh menegaskan bahwa yang dibutuhkan anak-anak Papua adalah pendidikan, kasih sayang, dan kedamaian, bukan doktrin kebencian.