Ancaman Membayangi: Banyak Warga Papua Terpaksa Bergabung dengan OPM

Hukrim66 views

buletinjubi.com-Situasi keamanan di sejumlah wilayah Papua masih dibayangi oleh tekanan dan ancaman dari kelompok separatis bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam beberapa tahun terakhir, laporan demi laporan menunjukkan bahwa tidak sedikit masyarakat Papua yang menjadi anggota OPM bukan karena kemauan sendiri, melainkan karena tekanan dan intimidasi yang terus-menerus.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa eksistensi OPM bukan hanya menciptakan keresahan, tetapi juga telah merusak tatanan sosial dan memaksakan pilihan hidup yang berat bagi masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi. Dalam banyak kasus, masyarakat di daerah pedalaman terpaksa memilih untuk tunduk atau bergabung dengan kelompok bersenjata, karena takut akan keselamatan diri dan keluarganya.

Salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten Intan Jaya, yang enggan disebutkan namanya demi alasan keamanan, menyatakan bahwa beberapa keluarga di kampungnya telah kehilangan anggota keluarga karena dipaksa ikut OPM. “Mereka tidak punya pilihan lain. Kalau menolak, mereka diancam. Kalau lapor ke aparat, mereka dianggap pengkhianat dan disiksa. Jadi banyak yang memilih diam dan ikut saja walau hati menolak,” katanya, Sabtu (26/4/20205).

Fenomena ini bukan hal baru. Beberapa laporan dari lembaga HAM lokal dan aparat keamanan menyebut bahwa OPM kerap menggunakan taktik kekerasan untuk memperluas pengaruhnya, terutama dengan menyasar pemuda dan kepala keluarga di kampung-kampung terpencil. Mereka yang menolak sering kali menjadi korban kekerasan, atau keluarganya dijadikan tameng hidup dalam konflik bersenjata.

Seorang mantan anggota OPM berinisial Y.M. yang kini telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan, mengungkapkan bahwa dirinya semula tidak punya keinginan untuk bergabung. “Saya hanya petani biasa. Tapi mereka datang ke kampung, ancam akan bakar rumah dan bunuh keluarga kalau saya tidak ikut. Mau bagaimana? Saya akhirnya ikut, tapi hati saya tidak tenang,” ujarnya saat ditemui di lokasi pembinaan eks kombatan.

Ia menceritakan bagaimana OPM menjalankan sistem kontrol melalui kekerasan dan ketakutan. Para pemuda yang bergabung tak diberi ruang untuk mundur, bahkan tidak diizinkan pulang ke kampung jika tidak mendapatkan “hasil” dari aksi-aksi mereka. Banyak yang akhirnya mengalami trauma dan stres berat.

“Bukan kami tidak cinta tanah ini, tapi kami takut. Sekarang saya sudah kembali, dan saya harap teman-teman saya yang masih di sana bisa pulang juga. Tidak ada masa depan di hutan, hanya kematian dan kesepian,” katanya dengan suara bergetar.

Warga yang telah kembali dari OPM kini menjadi agen perubahan di kampungnya. Mereka menyuarakan damai, mengajak teman-teman yang masih di hutan untuk pulang, dan membuktikan bahwa kehidupan yang bermartabat masih bisa diraih.

Pemerintah Indonesia pun memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa mereka yang kembali tidak hanya diberi pengampunan, tetapi juga diberikan masa depan. Papua tidak akan damai jika rakyatnya terus dibayangi ketakutan dan ancaman. Perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk memaafkan, membangun kembali, dan menciptakan ruang bagi setiap anak bangsa untuk hidup dengan penuh rasa aman.