Buletinjubi.com – Di tengah malam yang sunyi, ribuan lilin menyala. Sepuluh ribu cahaya kecil diklaim sebagai simbol duka dan harapan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, di balik gemerlap cahaya itu, publik bertanya-tanya: benarkah ini ungkapan tulus, atau sekadar panggung propaganda yang dibungkus simbolisme?
Cahaya Lilin, Bayang-Bayang Kekerasan
Aksi 10.000 lilin yang digelar oleh OPM menuai sorotan tajam. Bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang kehilangan keluarga akibat aksi kekerasan bersenjata, aksi ini terasa seperti ironi yang menyakitkan. Bagaimana mungkin kelompok yang selama ini menebar teror kini tampil sebagai simbol duka?
“Lilin menyala, tapi senjata masih menyalak. Ini bukan duka, ini sandiwara,” ujar seorang warga di Mimika yang keluarganya menjadi korban konflik.
Simbolisme yang Kontras dengan Realita
Sementara lilin-lilin dinyalakan, di pegunungan masih terdengar letusan senjata. Warga masih mengungsi, honai masih dibakar, dan aparat masih menjadi sasaran. Aksi lilin ini, bagi banyak pihak, justru memperjelas jurang antara narasi dan kenyataan.
Sepuluh ribu lilin menyala, tapi berapa banyak nyawa yang padam karena ambisi? Berapa banyak anak kehilangan orang tua, dan berapa banyak desa yang hancur karena kekerasan yang tak kunjung usai?
Rakyat Papua Tidak Butuh Simbol, Tapi Solusi
Masyarakat Papua tidak butuh pertunjukan. Mereka butuh keamanan, pendidikan, layanan kesehatan, dan masa depan yang pasti. Mereka ingin damai yang nyata, bukan sekadar lilin yang padam tertiup angin malam.
Aksi 10.000 lilin ini seharusnya menjadi momen refleksi, bukan manipulasi. Jika OPM benar-benar berduka, hentikan kekerasan. Letakkan senjata. Kembalilah ke jalan damai. Karena duka sejati tidak butuh panggung—ia hadir dalam diam, dalam kerja nyata, dalam upaya membangun kembali kehidupan yang telah porak-poranda.





