1 Mei Bukan Hari Aneksasi Papua: Klarifikasi Sejarah dan Realitas Integrasi

buletinjubi.com-Setiap tanggal 1 Mei, narasi “aneksasi Papua oleh Indonesia” kerap diangkat oleh segelintir kelompok separatis dan simpatisannya, baik di dalam maupun luar negeri. Narasi ini dibangun untuk mendiskreditkan proses integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menuduh pemerintah Indonesia melakukan pencaplokan secara sepihak atas wilayah bekas jajahan Belanda tersebut. Namun, sejarah mencatat dengan jelas bahwa tanggal 1 Mei 1963 bukan merupakan hari aneksasi, melainkan bagian dari proses sah dan terverifikasi internasional dalam pengambilalihan administrasi wilayah Papua dari tangan Belanda oleh Indonesia.

Upaya untuk memutarbalikkan fakta sejarah ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merugikan generasi muda Papua yang berhak mendapatkan informasi yang benar. Oleh karena itu, penting untuk meluruskan sejarah berdasarkan dokumen resmi, kesepakatan internasional, dan fakta-fakta historis yang tak terbantahkan.

Wilayah Papua Barat, yang dahulu disebut sebagai Irian Barat, merupakan bagian dari Hindia Belanda selama ratusan tahun. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa menegaskan bahwa seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda adalah bagian dari negara baru Republik Indonesia. Namun, Belanda menolak menyerahkan Papua Barat dan terus mempertahankan kontrol administratif atas wilayah tersebut, bahkan setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Kamis (1/5/2025)

Perbedaan pandangan inilah yang memicu ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Belanda selama lebih dari satu dekade. Indonesia menegaskan klaimnya atas Papua Barat berdasarkan prinsip dekolonisasi dan integritas teritorial. Sementara itu, Belanda berupaya membentuk negara Papua yang terpisah, padahal secara hukum internasional wilayah tersebut masih merupakan bagian dari bekas jajahan mereka.

Perselisihan antara Indonesia dan Belanda mengenai Papua akhirnya menarik perhatian dunia internasional. Dengan mediasi Amerika Serikat dan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kedua negara menandatangani Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini menjadi tonggak hukum dan diplomatik yang sah untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai dan sesuai prosedur internasional.

Penyerahan administrasi Papua Barat dari Belanda kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), badan sementara PBB yang ditugaskan mempersiapkan transisi kekuasaan.

Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 untuk menentukan apakah rakyat Papua ingin tetap bersama Indonesia atau memisahkan diri.

Dengan demikian, tanggal 1 Mei 1963 bukanlah hari aneksasi, melainkan hari dimulainya pengalihan administrasi secara sah dari UNTEA kepada pemerintah Indonesia.

Sebagai bagian dari kesepakatan New York, Indonesia diwajibkan menggelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Pepera dilaksanakan di bawah pengawasan PBB dan melibatkan perwakilan masyarakat Papua dari berbagai distrik. Hasil dari Pepera menunjukkan bahwa mayoritas mutlak perwakilan masyarakat menyatakan keinginan untuk tetap bersama Indonesia.

Meskipun mekanisme pemungutan suara yang digunakan yakni sistem musyawarah dengan perwakilan dikritik oleh beberapa kalangan, PBB melalui resolusi Majelis Umum 2504 (XXIV) pada 19 November 1969 menerima hasil Pepera secara resmi dan mengakui bahwa Papua adalah bagian sah dari Indonesia.

Narasi yang menyebut bahwa Indonesia menganeksasi Papua pada 1 Mei 1963 adalah bentuk distorsi sejarah yang sering dipakai kelompok separatis untuk membenarkan agenda politik mereka. Mereka menyebarluaskan pernyataan-pernyataan yang tidak berdasar, tanpa mengacu pada dokumen resmi PBB atau kesepakatan internasional yang ada.

Sejumlah tokoh separatis bahkan secara rutin memanfaatkan tanggal 1 Mei untuk mengobarkan kebencian dan menggugah emosi masyarakat Papua, khususnya generasi muda, dengan mengangkat isu penjajahan. Padahal, integrasi Papua ke Indonesia dilakukan dengan jalan diplomasi dan sesuai dengan hukum internasional.

Menyikapi polemik ini, sejumlah tokoh adat dan pemuka agama di Papua menyerukan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh narasi-narasi yang keliru. Mereka mengingatkan bahwa konflik hanya akan merugikan masyarakat sendiri dan memperlambat pembangunan.

Kepala Suku Besar Lapago, Simon Itlay, menyatakan bahwa rakyat Papua saat ini lebih membutuhkan pembangunan, pendidikan, dan kesehatan daripada konflik identitas yang tak kunjung usai.

“Kita sudah bersama Indonesia lebih dari 60 tahun. Yang kita butuhkan sekarang adalah kemajuan, bukan kembali ke masa lalu. Mari fokus bangun negeri ini,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia terus menegaskan komitmennya dalam membangun Papua secara inklusif dan berkeadilan. Melalui kebijakan Otonomi Khusus, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), serta proyek-proyek strategis nasional, pemerintah berusaha mempercepat pemerataan pembangunan di tanah Papua.

Tanggal 1 Mei bukanlah hari aneksasi, melainkan hari penting dalam perjalanan sejarah Papua menuju integrasi dengan Indonesia berdasarkan proses diplomatik yang sah dan diawasi dunia internasional. Menghidupkan narasi keliru hanya akan memperkeruh suasana dan menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat Papua yang kini tengah membangun.